Kutengok jam dinding di ruang tamu. Belum terlalu
malam. Di luar juga masih terdengar sayup-sayup suara orang tadarus di masjid.
Tapi udara sudah terasa begitu dingin menusuk. Pastilah sangat nikmat dibuat
tidur. Tapi, mataku tak bisa diajak bersekongkol. Sama sekali tak ada rasa
kantuk. Akhirnya, kuputuskan untuk begadang hingga sahur. Tapi hawa dingin
menyerangku bertubi-tubi. Aku kira aku punya solusinya. Ya, kopi panas. Aku suka
sekali minum kopi. Apalagi kopi racikanku sendiri. Kopi menjelma menjadi
sahabat baikku, yang menemaniku disaat senangku, sedihku, galauku, dan
semuanya. Kuhirup kopiku. Seketika kehangatan menyebar ke seluruh tubuhku,
pelan-pelan mengusir dingin yang sedari tadi membungkus. Aku duduk di teras depan
rumah, sendirian. Suara orang tadarus masih terdengar, meskipun tak seramai
tadi. Hari ini tanggal 14 dalam kalender hijriyah. Bulan terlihat bulat
sempurna. Cahayanya menyebar luas ke bumi hingga aku mampu melihat bayanganku
sendiri secara jelas. Kupandangi bulan, kunikmati keindahannya. Tiba-tiba
kemudian aku teringat dengan keindahan yang lain. Dialah Si Perempuan Desa yang
mampu membuatku bertekuk lutut atas nama cinta. Dialah pemilik senyuman manis
yang setahun terakhir ini membuatku tak mampu lagi melihat kecantikan perempuan
lain selainnya.
Kira-kira apa yang sedang dia lakukan sekarang? Mungkin dia
sedang tidur pulas dibalik selimutnya, mungkin dia sedang sibuk berkutat dengan
tugas kuliahnya, atau mungkin dia sedang memandang bulan seperti yang aku
lakukan. Akhirnya aku hanya bisa mengira-ngira, karena tak pernah berani
bertanya. Hingga detik ini, posisiku hanyalah sebatas pengagum rahasia. Yang
kerjaannya hanya curi-curi pandang, itupun dari kejauhan. Entah kenapa aku
begitu betah bertahan diposisi rawan sakit hati ini. Mungkin aku memang
laki-laki pengecut. Atau mungkin aku hanya merasa belum pantas memilikinya,
mengingat dia yang begitu sempurna, sementara aku yang begitu semerawut.
Terkadang aku ingin bertanya pada Tuhan, apa tujuan-Nya membuatku jatuh cinta
pada dia. Jika akhirnya dia tak akan menjadi milikku, aku berharap Dia segera
menghapus kutukan cinta ini. Namun jika dia tercipta untuk menjadi teman
hidupku, aku berharap Dia segera memberiku mukjizat berupa keberanian,
setidaknya agar aku bisa sekadar bertanya, “Lagi apa Dik?” atau “Sudah makan
belum?”. Aku berharap, semoga kemungkinan kedua lah yang akhirnya dipilih
Tuhan. Aku berdoa, semoga aku tak hanya menjadi pengagum rahasia, namun bisa
menjadi pemilik paten. Aku menginginkan bisa berada dekat disampingnya, tidak
hanya memandangnya dari kejauhan. Prok prok dung prok dung. Terdengar dari
kejauhan suara anak-anak kecil membunyikan kentongan, tanda bahwa waktu sahur
telah tiba. Akupun kembali menginjak bumi. Aku selalu seperti ini ketika sedang sepi.
Bayangannya selalu datang menghampiri sepiku, yang kemudian membuatnya jadi
ramai. Kuhirup kopiku untuk yang terakhir. Malam ini rasanya cepat sekali berlalu. Berjam-jam duduk di depan rumah
seperti tak terasa. Benar-benar malam yang sempurna. Perpaduan antara nikmatnya
kopi, indahnya bulan, dan manisnya bayanganmu.
Bojonegoro, 05
Juli 2015
(Alvin Mujahid)
0 komentar:
Posting Komentar