“It’s oke wae mang, it’s oke wae. Aku
rapopo aku rapopo aku rapopo”. Alarm-ku berbunyi tanda bahwa waktu sudah
menunjukkan pukul 04.45. Seperti biasa, sekali bunyi tak akan mampu
membangunkanku dari nyenyaknya tidurku. Lima belas menit kemudian, alarm
tersebut kembali berbunyi “It’s oke wae mang, it’s oke wae. Aku rapopo aku
rapopo aku rapopo”. Alarm yang kedua ini sukses membuat kesadaranku utuh
kembali. Aku lihat di sela-sela dinding kamarku yang terbuat dari kayu, cahaya
matahari sudah mau mempertunjukkan pesonanya. Akupun cepat-cepat menuju kamar
mandi untuk berwudhu dan kamudian melaksanakan dua rakaat kewajibanku. Pagi itu,
hawanya cukup dingin. Ingin rasanya aku menarik kembali selimutku untuk
berlayar ke pulau kapuk. Namun akhirnya aku memilih opsi lain. Aku membuat kopi
panas untuk menangkal hawa dingin yang seakan-akan memeluk tulangku.
Akhir-akhir ini, di daerahku setiap pagi
hawanya memang sangat dingin. Sangat kontras dengan siangnya yang sangat panas.
Seperti biasa, aku membuat sendiri kopiku. Meskipun banyak kopi sachet yang
tergeletak di meja, aku lebih memilih membuat kopi hitam asli, hasil tumbukan
biji kopi. Formasi pembuatan kopiku adalah 1+1+1+1, artinya aku menyediakan 1
cangkir, lalu aku tuangkan 1 sendok bubuk kopi, kemudian 1 sendok gula pasir,
dan yang terakhir saya tuangkan 1 gerojokan air panas. Entah bagaimana rasanya,
tapi aku selalu puas dengan racikan kopiku itu.
Aku bawa secangkir kopiku ke depan
rumah. Sambil duduk di kursi, aku menanti munculnya
mentari. Dengan keadaan rumahku yang berada di samping sawah, membuatku leluasa
menikmati sunrise setiap pagi. Aku seruput kopiku yang uapnya masih mengepul,
dan aku mencoba mengingat-ingat mimpiku semalam. Namun
sial, aku tak berhasil mengingat alur mimpiku. Terkadang aku heran, kenapa kita
mudah sekali lupa dengan mimpi indah. Padahal jika mimpi buruk, kita akan mudah
sekali mengingatnya. Pada mimpiku itu, yang aku ingat hanyalah tokoh utama yang
semalam menghiasi bunga tidurku itu.
Betul, dia tidak lain tidak bukan adalah gedis penghuni tetap kerajaan
lamunanku. Gadis yang selalu memberiku semangat lewat bayangannya. Sebut saja
dia Bunga. Tapi Bunga disini bukanlah korban pemerkosaan seperti yang biasa
muncul di TV. Karena justru akulah yang seakan-akan sering diperkosa oleh
pesonanya.
Begitulah, mimpi merupakan arena
pelampiasanku untuk bisa bertemu dengan Bunga. Satu-satunya tempat yang paling
tepat untuk bisa memandang wajahnya sepuas-puasnya, menikmati senyumannya sebosan-bosannya.Namun
nyatanya aku memang tak pernah bosan. Mana mungkin aku bosan memandang senyuman
semanis itu, seperti aku yang tak pernah bosan merasakan manisnya madu. Tidak
mungkin juga aku bosan melihat wajahnya yang begitu damai, seperti aku yang
tidak pernah bosan merasakan kedamaian disaat berteduh di bawah pohon yang
rindang.
Bunga, tetaplah kamu menjadi gadis
sederhana selayaknya bunga melati. Meskipun kecil, tapi wangi. Tak perlulah
kamu menjadi bunga Raflesia Arnoldi, yang besardan mempesona namun busuk. Dan
aku akan tetap setia menjadi kumbang. Meskipun saat ini aku hanyalah kumbang
yang tak pernah berani menghinggapimu, namun aku selalu terbang disekitarmu
untuk memastikan kondisimu tak akan pernah layu. Lagi-lagi, hidup adalah sebuah
pilihan. Bahkan disaat kita memutuskan untuk tidak memilih, maka sesungguhnya
itulah pilihan kita.
Kopi di cangkirku sudah habis. Dan
mentari juga sudah bersinar terang, mulai mengusir kabut yang tadi menyelimuti
bumi, dan menggusur embun yang tadi berteduh di dedaunan. Dan aku, saatnya
untuk kembali menginjak bumi, pulang dari kampung imajinasi.
Bojonegoro, 24
Oktober 2014
(Alvin Mujahid)
0 komentar:
Posting Komentar