Senin, 15 Juni 2015



“It’s oke wae mang, it’s oke wae. Aku rapopo aku rapopo aku rapopo”. Alarm-ku berbunyi tanda bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 04.45. Seperti biasa, sekali bunyi tak akan mampu membangunkanku dari nyenyaknya tidurku. Lima belas menit kemudian, alarm tersebut kembali berbunyi “It’s oke wae mang, it’s oke wae. Aku rapopo aku rapopo aku rapopo”. Alarm yang kedua ini sukses membuat kesadaranku utuh kembali. Aku lihat di sela-sela dinding kamarku yang terbuat dari kayu, cahaya matahari sudah mau mempertunjukkan pesonanya. Akupun cepat-cepat menuju kamar mandi untuk berwudhu dan kamudian melaksanakan dua rakaat kewajibanku. Pagi itu, hawanya cukup dingin. Ingin rasanya aku menarik kembali selimutku untuk berlayar ke pulau kapuk. Namun akhirnya aku memilih opsi lain. Aku membuat kopi panas untuk menangkal hawa dingin yang seakan-akan memeluk tulangku.
Akhir-akhir ini, di daerahku setiap pagi hawanya memang sangat dingin. Sangat kontras dengan siangnya yang sangat panas. Seperti biasa, aku membuat sendiri kopiku. Meskipun banyak kopi sachet yang tergeletak di meja, aku lebih memilih membuat kopi hitam asli, hasil tumbukan biji kopi. Formasi pembuatan kopiku adalah 1+1+1+1, artinya aku menyediakan 1 cangkir, lalu aku tuangkan 1 sendok bubuk kopi, kemudian 1 sendok gula pasir, dan yang terakhir saya tuangkan 1 gerojokan air panas. Entah bagaimana rasanya, tapi aku selalu puas dengan racikan kopiku itu.

Aku bawa secangkir kopiku ke depan rumah. Sambil duduk di kursi, aku menanti munculnya mentari. Dengan keadaan rumahku yang berada di samping sawah, membuatku leluasa menikmati sunrise setiap pagi. Aku seruput kopiku yang uapnya masih mengepul, dan aku mencoba mengingat-ingat mimpiku semalam. Namun sial, aku tak berhasil mengingat alur mimpiku. Terkadang aku heran, kenapa kita mudah sekali lupa dengan mimpi indah. Padahal jika mimpi buruk, kita akan mudah sekali mengingatnya. Pada mimpiku itu, yang aku ingat hanyalah tokoh utama yang semalam menghiasi bunga tidurku itu. Betul, dia tidak lain tidak bukan adalah gedis penghuni tetap kerajaan lamunanku. Gadis yang selalu memberiku semangat lewat bayangannya. Sebut saja dia Bunga. Tapi Bunga disini bukanlah korban pemerkosaan seperti yang biasa muncul di TV. Karena justru akulah yang seakan-akan sering diperkosa oleh pesonanya.
Begitulah, mimpi merupakan arena pelampiasanku untuk bisa bertemu dengan Bunga. Satu-satunya tempat yang paling tepat untuk bisa memandang wajahnya sepuas-puasnya, menikmati senyumannya sebosan-bosannya.Namun nyatanya aku memang tak pernah bosan. Mana mungkin aku bosan memandang senyuman semanis itu, seperti aku yang tak pernah bosan merasakan manisnya madu. Tidak mungkin juga aku bosan melihat wajahnya yang begitu damai, seperti aku yang tidak pernah bosan merasakan kedamaian disaat berteduh di bawah pohon yang rindang.
Bunga, tetaplah kamu menjadi gadis sederhana selayaknya bunga melati. Meskipun kecil, tapi wangi. Tak perlulah kamu menjadi bunga Raflesia Arnoldi, yang besardan mempesona namun busuk. Dan aku akan tetap setia menjadi kumbang. Meskipun saat ini aku hanyalah kumbang yang tak pernah berani menghinggapimu, namun aku selalu terbang disekitarmu untuk memastikan kondisimu tak akan pernah layu. Lagi-lagi, hidup adalah sebuah pilihan. Bahkan disaat kita memutuskan untuk tidak memilih, maka sesungguhnya itulah pilihan kita.
Kopi di cangkirku sudah habis. Dan mentari juga sudah bersinar terang, mulai mengusir kabut yang tadi menyelimuti bumi, dan menggusur embun yang tadi berteduh di dedaunan. Dan aku, saatnya untuk kembali menginjak bumi, pulang dari kampung imajinasi.

Bojonegoro, 24 Oktober 2014


(Alvin Mujahid)

0 komentar:

Posting Komentar