Matahari sudah berada di ujung barat, bersiap untuk
istirahat sejenak, sebelum esok hari mendapat tugas membangunkan jutaan manusia.
Jam memang sudah menunjukkan pukul 5 sore. Aku sudah mandi. Dan kini aku duduk
di samping jalan sambil menunggu adzan magrib. Hampir setiap hari aku selalu
begini. Menikmati setengah jam untuk bersantai. Alangkah syahdunya suasana di
kala senja. Apalagi seperti sekarang, saat orang-orang lagi
semangat-semangatnya menerbangkan layang-layang. Suara merdu dari pita
layang-layang, ditambah suara angin yang menerpa dedaunanselalu menjadi terapi
tersendiri. Kulihat ada anak kecil menangis, merengek kepada bapaknya minta
dibelikan layang-layang. Hari semakin petang, matahari tinggal menunjukkan
separuh tubuhnya. Dari kejauhan kulihat bapak-bapak mengayuh sepeda. Ketika
sudah agak dekat, aku baru tau jika dia tak sendiri. Dia memboncengkan seorang
perempuan, mungkin istrinya. Semakin dekat, aku tersadar ternyata aku salah
lagi. Tak salah lagi, ternyata yang dibonceng bapak-bapak itu adalah gadis yang
aku juluki gadis sendu.
Rabu, 23 Desember 2015
19.32
Alvin Mujahid
Ya Tuhan, kini usiaku sudah menginjak 28 tahun.
Semua taman-temanku perempuan sudah menikah. Bahkan hampir semuanya sudah
menggendong bayi. Sementara aku, kekasihpun tak punya. Berkali-kali menjalin
hubungan dengan seseorang, pada akhirnya kandas juga. Berkali-kali ada yang
datang, pada akhirnya pergi juga. Dan berkali-kali ada yang memberi janji, pada
akhirnya diingkari juga. Hingga akhirnya, aku mulai capek Tuhan. Tak ada lagi
rasa percaya pada laki-laki yang mendekat. Rasanya, air mata ini sudah bosan
menetes. Hingga terkadang, aku menangis tanpa air mata. Aku lebih sering
menghabiskan waktu di dalam kamar. Aku sangat takut dengan pertanyaan “Kapan
menikah?”. Aku terpaksa menghindar ketika ada keluarga jauh yang datang. Aku juga
terpaksa menolak hadir, ketika ada acara reunian dengan teman. Pernah sekali
aku datang di acara reunian. Saat itu, semua teman-temanku membawa suaminya
masing-masing, dan sebagian lagi membawa anaknya. Sementara aku, aku hanya
membawa motor kreditan yang belum lunas.
Minggu, 05 Juli 2015
20.04
Alvin Mujahid
Kutengok jam dinding di ruang tamu. Belum terlalu
malam. Di luar juga masih terdengar sayup-sayup suara orang tadarus di masjid.
Tapi udara sudah terasa begitu dingin menusuk. Pastilah sangat nikmat dibuat
tidur. Tapi, mataku tak bisa diajak bersekongkol. Sama sekali tak ada rasa
kantuk. Akhirnya, kuputuskan untuk begadang hingga sahur. Tapi hawa dingin
menyerangku bertubi-tubi. Aku kira aku punya solusinya. Ya, kopi panas. Aku suka
sekali minum kopi. Apalagi kopi racikanku sendiri. Kopi menjelma menjadi
sahabat baikku, yang menemaniku disaat senangku, sedihku, galauku, dan
semuanya. Kuhirup kopiku. Seketika kehangatan menyebar ke seluruh tubuhku,
pelan-pelan mengusir dingin yang sedari tadi membungkus. Aku duduk di teras depan
rumah, sendirian. Suara orang tadarus masih terdengar, meskipun tak seramai
tadi. Hari ini tanggal 14 dalam kalender hijriyah. Bulan terlihat bulat
sempurna. Cahayanya menyebar luas ke bumi hingga aku mampu melihat bayanganku
sendiri secara jelas. Kupandangi bulan, kunikmati keindahannya. Tiba-tiba
kemudian aku teringat dengan keindahan yang lain. Dialah Si Perempuan Desa yang
mampu membuatku bertekuk lutut atas nama cinta. Dialah pemilik senyuman manis
yang setahun terakhir ini membuatku tak mampu lagi melihat kecantikan perempuan
lain selainnya.
Senin, 15 Juni 2015
04.55
Alvin Mujahid
Setiap cinta memiliki masanya masing-masing. Setiap
cinta memiliki jatah waktu yang berbeda-beda. Yang dulu cinta, bukan berarti
akan selalu cinta hingga nanti. Yang dulu tak cinta, bisa jadi suatu saat nanti
akan menjadi cinta sejati. Seperti kita, yaitu aku dan kamu. Kita tak pernah
diberi kesempatan untuk saling mencintai. Dulu aku pernah cinta, tapi kamu tak
merasa apa-apa. Lalu mungkin kamu baru ada rasa, saat aku sudah memutuskan
untuk menyerah. Dan kemudian aku cinta lagi, tapi kamu sudah terlanjur kecewa.
Seperti ilmu matematika, yaitu KPK. Aku mencintaimu setiap 3 bulan sekali,
sementara kamu mencintaiku setiap 16 bulan sekali. Tak perlu khawatir, karena suatu
saat nanti pasti kita akan saling mencintai yaitu pada bulan ke-48. Artinya, 4
tahun lagi kita akan bersama. Dan saat itu, aku berharap rumus KPK tak lagi
berlaku, dan kita akan saling mencintai selamanya. Saat ini, marilah kita
menjalani kehidupan masing-masing. Marilah kita terbang ke angkasa sesuka hati.
Marilah kita menyelami samudera sepuas-puasnya. Kita akan saling memperbaiki
diri, memantaskan pribadi. Ingat, kita akan dipertemukan 4 tahun lagi, jadi
kita masih punya waktu 4 x 365 x 24 x 60 x 60 =126.144.000 detik lagi untuk
mempersiapkan semuanya.
04.54
Alvin Mujahid
“It’s oke wae mang, it’s oke wae. Aku
rapopo aku rapopo aku rapopo”. Alarm-ku berbunyi tanda bahwa waktu sudah
menunjukkan pukul 04.45. Seperti biasa, sekali bunyi tak akan mampu
membangunkanku dari nyenyaknya tidurku. Lima belas menit kemudian, alarm
tersebut kembali berbunyi “It’s oke wae mang, it’s oke wae. Aku rapopo aku
rapopo aku rapopo”. Alarm yang kedua ini sukses membuat kesadaranku utuh
kembali. Aku lihat di sela-sela dinding kamarku yang terbuat dari kayu, cahaya
matahari sudah mau mempertunjukkan pesonanya. Akupun cepat-cepat menuju kamar
mandi untuk berwudhu dan kamudian melaksanakan dua rakaat kewajibanku. Pagi itu,
hawanya cukup dingin. Ingin rasanya aku menarik kembali selimutku untuk
berlayar ke pulau kapuk. Namun akhirnya aku memilih opsi lain. Aku membuat kopi
panas untuk menangkal hawa dingin yang seakan-akan memeluk tulangku.
Akhir-akhir ini, di daerahku setiap pagi
hawanya memang sangat dingin. Sangat kontras dengan siangnya yang sangat panas.
Seperti biasa, aku membuat sendiri kopiku. Meskipun banyak kopi sachet yang
tergeletak di meja, aku lebih memilih membuat kopi hitam asli, hasil tumbukan
biji kopi. Formasi pembuatan kopiku adalah 1+1+1+1, artinya aku menyediakan 1
cangkir, lalu aku tuangkan 1 sendok bubuk kopi, kemudian 1 sendok gula pasir,
dan yang terakhir saya tuangkan 1 gerojokan air panas. Entah bagaimana rasanya,
tapi aku selalu puas dengan racikan kopiku itu.
04.53
Alvin Mujahid
Hay bidadariku, bagaimana kabarmu? Semoga kamu
disana baik-baik saja ya. Biarkan aku saja yang merasakan tersiksanya jatuh
cinta. Entah sejak kapan aku mulai jatuh cinta padamu. Yang aku tahu, aku sudah
lama mengagumimu. Dan saat ini, kekagumanku sudah mencapai puncaknya. Iya,
kekaguman itu sudah bertransformasi menjadi cinta. Begitu banyak hal yang aku
suka darimu. Mulai senyumanmu, kecantikanmu, kecerdasanmu, kerendahan hatimu,
pengetahuanmu tentang agama, hingga caramu untuk menghargai perasaan orang
lain. Selama ini mungkin kita hanya saling tahu, namun tidak saling kenal.
Hingga detik ini pun bahkan aku belum pernah sekalipun menyapamu secara
langsung. Apalagi memegang tanganmu, membelai rambutmu, ah itu semua masih
jauh, itu semua hanya mimpi. Tapi entah kenapa aku begitu berharap agar Tuhan menjodohkanku
denganmu. Aku masih ingat, betapa bahagianya aku ketika kamu tiba-tiba hadir di
chat jejaring sosialku. Kamu menyapaku, “Kak Alvin”.
04.51
Alvin Mujahid
Seperti
suasana malam di pedesaan pada umumnya, malam ini susana sepi, dingin, dan
gelap terasa begitu kental, mereka membungkusku. Apalagi sore tadi turun hujan,
itu membuat ketiga suasana tadi begitu mendominasi. Mungkin tidur menjadi opsi
terbaik, namun aku tak melakukannya. Aku lebih memilih menikmati suasana ini,
suasana yang jarang aku temukan ketika sedang berada di kota Surabaya. Akhirnya
aku pergi ke dapur untuk membuat kopi hitam. Kopi memang selalu menjadi teman terbaik
saat suasana seperti ini, lebih tepatnya teman curhat. Ia seakan-akan bisa
diajak berkomunikasi, sehingga aku bisa terjaga karenanya. Kopi adalah
pendengar yang baik, ia tak pernah protes. Meskipun ia tak pernah memberi
saran, tapi minimal ia juga tak pernah mengkritik. Kuteguk kopiku, dan aku
langsung teringat moment beberapa hari yang lalu.
Langganan:
Postingan (Atom)