Senin, 15 Juni 2015



Setiap cinta memiliki masanya masing-masing. Setiap cinta memiliki jatah waktu yang berbeda-beda. Yang dulu cinta, bukan berarti akan selalu cinta hingga nanti. Yang dulu tak cinta, bisa jadi suatu saat nanti akan menjadi cinta sejati. Seperti kita, yaitu aku dan kamu. Kita tak pernah diberi kesempatan untuk saling mencintai. Dulu aku pernah cinta, tapi kamu tak merasa apa-apa. Lalu mungkin kamu baru ada rasa, saat aku sudah memutuskan untuk menyerah. Dan kemudian aku cinta lagi, tapi kamu sudah terlanjur kecewa. Seperti ilmu matematika, yaitu KPK. Aku mencintaimu setiap 3 bulan sekali, sementara kamu mencintaiku setiap 16 bulan sekali. Tak perlu khawatir, karena suatu saat nanti pasti kita akan saling mencintai yaitu pada bulan ke-48. Artinya, 4 tahun lagi kita akan bersama. Dan saat itu, aku berharap rumus KPK tak lagi berlaku, dan kita akan saling mencintai selamanya. Saat ini, marilah kita menjalani kehidupan masing-masing. Marilah kita terbang ke angkasa sesuka hati. Marilah kita menyelami samudera sepuas-puasnya. Kita akan saling memperbaiki diri, memantaskan pribadi. Ingat, kita akan dipertemukan 4 tahun lagi, jadi kita masih punya waktu 4 x 365 x 24 x 60 x 60 =126.144.000 detik lagi untuk mempersiapkan semuanya.


“It’s oke wae mang, it’s oke wae. Aku rapopo aku rapopo aku rapopo”. Alarm-ku berbunyi tanda bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 04.45. Seperti biasa, sekali bunyi tak akan mampu membangunkanku dari nyenyaknya tidurku. Lima belas menit kemudian, alarm tersebut kembali berbunyi “It’s oke wae mang, it’s oke wae. Aku rapopo aku rapopo aku rapopo”. Alarm yang kedua ini sukses membuat kesadaranku utuh kembali. Aku lihat di sela-sela dinding kamarku yang terbuat dari kayu, cahaya matahari sudah mau mempertunjukkan pesonanya. Akupun cepat-cepat menuju kamar mandi untuk berwudhu dan kamudian melaksanakan dua rakaat kewajibanku. Pagi itu, hawanya cukup dingin. Ingin rasanya aku menarik kembali selimutku untuk berlayar ke pulau kapuk. Namun akhirnya aku memilih opsi lain. Aku membuat kopi panas untuk menangkal hawa dingin yang seakan-akan memeluk tulangku.
Akhir-akhir ini, di daerahku setiap pagi hawanya memang sangat dingin. Sangat kontras dengan siangnya yang sangat panas. Seperti biasa, aku membuat sendiri kopiku. Meskipun banyak kopi sachet yang tergeletak di meja, aku lebih memilih membuat kopi hitam asli, hasil tumbukan biji kopi. Formasi pembuatan kopiku adalah 1+1+1+1, artinya aku menyediakan 1 cangkir, lalu aku tuangkan 1 sendok bubuk kopi, kemudian 1 sendok gula pasir, dan yang terakhir saya tuangkan 1 gerojokan air panas. Entah bagaimana rasanya, tapi aku selalu puas dengan racikan kopiku itu.
Hay bidadariku, bagaimana kabarmu? Semoga kamu disana baik-baik saja ya. Biarkan aku saja yang merasakan tersiksanya jatuh cinta. Entah sejak kapan aku mulai jatuh cinta padamu. Yang aku tahu, aku sudah lama mengagumimu. Dan saat ini, kekagumanku sudah mencapai puncaknya. Iya, kekaguman itu sudah bertransformasi menjadi cinta. Begitu banyak hal yang aku suka darimu. Mulai senyumanmu, kecantikanmu, kecerdasanmu, kerendahan hatimu, pengetahuanmu tentang agama, hingga caramu untuk menghargai perasaan orang lain. Selama ini mungkin kita hanya saling tahu, namun tidak saling kenal. Hingga detik ini pun bahkan aku belum pernah sekalipun menyapamu secara langsung. Apalagi memegang tanganmu, membelai rambutmu, ah itu semua masih jauh, itu semua hanya mimpi. Tapi entah kenapa aku begitu berharap agar Tuhan menjodohkanku denganmu. Aku masih ingat, betapa bahagianya aku ketika kamu tiba-tiba hadir di chat jejaring sosialku. Kamu menyapaku, “Kak Alvin”.


Seperti suasana malam di pedesaan pada umumnya, malam ini susana sepi, dingin, dan gelap terasa begitu kental, mereka membungkusku. Apalagi sore tadi turun hujan, itu membuat ketiga suasana tadi begitu mendominasi. Mungkin tidur menjadi opsi terbaik, namun aku tak melakukannya. Aku lebih memilih menikmati suasana ini, suasana yang jarang aku temukan ketika sedang berada di kota Surabaya. Akhirnya aku pergi ke dapur untuk membuat kopi hitam. Kopi memang selalu menjadi teman terbaik saat suasana seperti ini, lebih tepatnya teman curhat. Ia seakan-akan bisa diajak berkomunikasi, sehingga aku bisa terjaga karenanya. Kopi adalah pendengar yang baik, ia tak pernah protes. Meskipun ia tak pernah memberi saran, tapi minimal ia juga tak pernah mengkritik. Kuteguk kopiku, dan aku langsung teringat moment beberapa hari yang lalu.
Sore itu, aku melihat dia, gadis dengan raut wajah yang menentramkan. Seperti kebiasanya, dia datang dengan membawa senyum. Dan aku, akupun langsung ikut tersenyum. Hatiku berkata, ini akan menjadi senja yang indah. Senja yang romantis bagi imajinasiku. Dia kemudian duduk manis bersama teman-temannya. Tak hanya duduknya yang manis, tapi senyumannya juga manis. Jangan heran jika aku sering menyebut kata “senyum”. Karena disini aku memang berperan sebagai tokoh pengagum senyumannya. Sebetulnya, kehadirannya adalah sebuah petaka. Karena itu hanya akan membuatku tak fokus pada tugasku di sore itu, hanya akan membuat dua pertiga perhatianku tersedot kepadanya. Tapi aku tak peduli, kehadirannya yang begitu jarang membuat moment itu menjadi sangat spesial dan tak boleh terlewatkan sia-sia begitu saja. Sesekali, aku ingin mencuri sedikit perhatiannya. Tapi dia sekalipun tak melihatku. Mungkin betul, baginya aku hanyalah satu dari seribu. Padahal bagiku, dia adalah seribu satu. Jika salto bisa membuatnya mengalihkan pandangan padaku, tentunya aku akan salto.


Ribuan kata-kata indah telah ia ciptakan, tanpa ia ketahui untuk siapa kata-kata tersebut diberikan. Ia tak tau siapa alasan dibalik semua puisi-puisi indahnya. Semua terkesan begitu abstrak. Ia sendiri tak bila memvisualisasikannya, apalagi orang lain. Lamunannya dikala senja, lamunannya dikala sunyi, terasa tak punya arti. Yang ada dalam lamunannya, hanyalah gadis bayangan yang tak pernah ia temukan. Gadis sempurna yang mungkin hanya ada dalam cerita cinderella. Terkadang ia bingung, kenapa ia hidup di dunia nyata. Sementara sebagian besar hidupnya justru berkutat di dunia abstark, dunia yang hanya ia mengerti sendiri, dunia yang terlihat konyol bagi orang-orang disekitarnya. Namun ia tetap bertahan. Baginya, dunianya begitu indah. Dunia yang penuh kebebasan. Disana, semua yang tak mungkin, menjadi sangat mungkin dilakukan. Disana, mimpi-mimpinya bisa terwujud dengan mudahnya. Disana, ia bisa menemukan gadis bayangannya, kapanpun sesukanya. Disana, tak pernah ada kegagalan, yang ada hanyalah keberhasilan yang mutlak. Ia sangat mencintai dunianya. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan seseorang. Seseorang yang mampu membawanya keluar dari dunianya, untuk kembali ke habitat aslinya, dunia nyata.

Jeany, malam ini aku sungguh merindukanmu. Tapi aku tak tau, hal apa yang sebetulnya aku rindukan darimu. Bukankah kita tak pernah jalan berdua, tak pernah duduk berdampingan, tak pernah telfonan, bahkan sms’an pun tak pernah. Maksimal yang aku lakukan adalah memandang wajahmu dari jauh. Itupun jika aku beruntung, karena paling sering aku hanya bisa memandang punggungmu. Dan itu sudah cukup untuk bisa meningkatkan hormon Endorfin dalam tubuhku, yaitu hormon yang bertanggung jawab untuk memberikan rasa bahagia.
Jeany, apa mungkin kamu disana merasa bahwa ada seseorang yang begitu mengagumi semua hal tentang dirimu. Jika iya, maka itulah aku. Aku begitu mengagumi senyumanmu, langkah kakimu, kedewasaanmu, kesederhanaanmu, dan semuanya. Jika aku tulis semua, kamu akan bosan membaca. Karena deretan kata-kata kekaguman itu tak akan cukup untuk aku tulis di satuhalaman kertas. Dan itu baru kekaguman yang bisa diungkapkan, karena masih ada lebih banyak lagi kekagumanku yang tak mampu di lukis dalam kata-kata.

Minggu, 14 Juni 2015



Malam ini sungguh dingin, angin terasa menusuk hingga sumsum tulangku. Sebelum sampai ke sumsum tulangkau, angin terlebih dahulu mencari celah untuk masuk ke dalam kamar melalui pori-pori dinding ataupun sela-sela jendela. Meskipun suasana sangatlah mendukung untuk segera memejamkan mata menembus alam dunia menuju alam mimpi, tapi aku berusaha untuk terus terjaga. Mata ini tak boleh terpejam dahulu, mata ini harus dipaksa untuk terus terbuka paling tidak hingga pukul 12 malam. Iya, ini hanyalah bagian dari ritual bodohku. Ritual yang hampir selalu aku lakukan setiap tahunnya. Aku tak tau mengapa harus melakukan ritual seperti ini di setiap aku mengalami pergantian usia. Ya, hari ini adalah hari terakhirku di usia yang ke 20. Sebentar lagi angka itu akan berubah menjadi 21. Ah, sebenarnya aku tak terlalu suka mengingat-ingat usia. Usia merupakan beban, di dalam usia selalu tersimpan target. Dari sekian banyak target, pasti tak semuanya akan tercapai, dan pada akhirnya usia hanya akan menjadi hantu dalam setiap ronde kehidupan. Aku melirik bulan, bulanpun balik melirikku. Andai ia bisa bicara, aku yakin ia akan bilang padaku bahwa kamu tidak sendiri, aku menemanimu disini.