Hay bidadariku, bagaimana kabarmu? Semoga kamu
disana baik-baik saja ya. Biarkan aku saja yang merasakan tersiksanya jatuh
cinta. Entah sejak kapan aku mulai jatuh cinta padamu. Yang aku tahu, aku sudah
lama mengagumimu. Dan saat ini, kekagumanku sudah mencapai puncaknya. Iya,
kekaguman itu sudah bertransformasi menjadi cinta. Begitu banyak hal yang aku
suka darimu. Mulai senyumanmu, kecantikanmu, kecerdasanmu, kerendahan hatimu,
pengetahuanmu tentang agama, hingga caramu untuk menghargai perasaan orang
lain. Selama ini mungkin kita hanya saling tahu, namun tidak saling kenal.
Hingga detik ini pun bahkan aku belum pernah sekalipun menyapamu secara
langsung. Apalagi memegang tanganmu, membelai rambutmu, ah itu semua masih
jauh, itu semua hanya mimpi. Tapi entah kenapa aku begitu berharap agar Tuhan menjodohkanku
denganmu. Aku masih ingat, betapa bahagianya aku ketika kamu tiba-tiba hadir di
chat jejaring sosialku. Kamu menyapaku, “Kak Alvin”.
Saat itu aku tak tahu
bahwa itu adalah kamu. Karena memang aku tak tahu nama lengkapmu. Yang aku tahu
hanyalah nama panggilanmu. Setelah aku cek sana-sini, ternyata aku baru sadar
bahwa itu adalah kamu, perempuan yang begitu aku kagumi. Kehadiranmu yang hanya
sekilas itu sudah bisa membuatku begitu bahagia. Setelah itu beberapa kali aku
hadir di jejaring sosialmu untuk sekadar basa-basi yang gak penting bahkan
sering sekali garing, namun kamu selalu sabar menanggapi.Namun jujur aku tak
berani mengungkapkan perasaanku ini. Jangankan mengungkapkan perasaan, PDKT ke
kamu saja aku belum berani. Aku merasa masih cukup kotor untuk dirimu yang
begitu bersih sempurna. Ijinkan aku untuk memperbaiki diri dulu, sehingga suatu
saat nanti bisa pantas untuk berada di sampingmu. Saat ini, aku sudah cukup
puas untuk hanya sekadar menikmati senyumanmu dari jauh. Aku masih ingat, aku
terkhir kali melihat senyumanmu adalah 22 hari yang lalu, berarti sudah 22 x 24
x 60 x 60 = 1.900.800 detik aku tak lagi melihat senyumanmu. Namun begitu
senyumanmu masih begitu awet untuk terngiang di otakku. Aku curiga,
jangan-jangan senyumanmu mengandung formalin, sehingga begitu awet. Atau
mengandung caffein, sehingga begitu menagihkan. Ah, lupakan lah semua itu.
Desas-desus yang aku dengar, katanya kamu mau dilamar oleh seorang dokter.
Haruskan aku menyerah saat ini, haruskah aku menyerah bahkan saat aku belum
memulai. Mana mungkin kamu memilihku. Kamu sudah punya calon seorang dokter.
Sementara aku hanyalah dokter cinta yang bahkan mengobati sakit hatiku sendiri
pun aku tak bisa. Ah, biarkan saja Tuhan yang memutuskan. Jika kamu tidak
ditakdirkan untukku, mungkin aku saja aku memang tidak pantas untukmu. Semoga
kamu bahagia, entah denganku, entah dengannya.
Bojonegoro,
7 Juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar