Senin, 15 Juni 2015



Seperti suasana malam di pedesaan pada umumnya, malam ini susana sepi, dingin, dan gelap terasa begitu kental, mereka membungkusku. Apalagi sore tadi turun hujan, itu membuat ketiga suasana tadi begitu mendominasi. Mungkin tidur menjadi opsi terbaik, namun aku tak melakukannya. Aku lebih memilih menikmati suasana ini, suasana yang jarang aku temukan ketika sedang berada di kota Surabaya. Akhirnya aku pergi ke dapur untuk membuat kopi hitam. Kopi memang selalu menjadi teman terbaik saat suasana seperti ini, lebih tepatnya teman curhat. Ia seakan-akan bisa diajak berkomunikasi, sehingga aku bisa terjaga karenanya. Kopi adalah pendengar yang baik, ia tak pernah protes. Meskipun ia tak pernah memberi saran, tapi minimal ia juga tak pernah mengkritik. Kuteguk kopiku, dan aku langsung teringat moment beberapa hari yang lalu.

Saat itu di tengah malam, aku memaksakan diri untuk tetap membuka mataku ini. Saat teman-teman kontrakanku sedang tidur dengan nyenyaknya, aku mengambil selembar kertas dari buku binder kuliahku. Malam itu, aku berniat menulis ucapan ulang tahun untuk seseorang, lebih tepatnya adalah ucapan ulang tahun yang disambung dengan surat cinta.Aku memang sedang jatuh cinta pada seseorang, dan jatuh cintaku kali ini terasa begitu aneh. Intensitas bertemu dengannya yang tergolong “jarang” namun mampu memunculkan rasa yang tak biasa bagiku. Hari demi hari, rasa itu kian memadat dan utuh. Beberapa hari lagi dia akan menginjak usia baru, dan aku berencana memberikan sesuatu kepadanya. Mungkin bukan sesuatu yang spesial, tapi begitu bermakna bagiku, entah bermakna atau tidak baginya aku kurang tau.Akhirnya akupun mulai menulis huruf demi huruf, kemudian tersusun menjadi kata, kalimat, dan akhirnya menjadi paragraf yang utuh. Memang rangkaian kata-kata tadi terlihatbegitu berantakan, maklum itu adalah surat cinta pertamaku. Sesungguhnya aku tak menulis dengan menggunakan tangan, namun aku menulisnya dengan menggunakan hati. Tangan hanya aku jadikan alat, tangan sama sekali tak mengerti apa yang ia tulis, ia hanya menjalankan perintah otak yang sebelumnya terlebih dahulu diperintah oleh hati.
Malam itu tak berhenti sampai disitu, aku melanjutkannya dengan membungkus sesuatu yang niatnya akan aku berikan padanya. Kubungkus sesuatu tersebut dengan menggunakan kertas karton bekas yang kebetulan tergeletak di pojok kamarku. Tak lupa, aku selipkan lembaran kertas tadi di dalamnya. Memang begitu sederhana, bahkan terkesan apa adanya, jauh dari kesan mewah. Namun bagiku itu sangat romantis, sederhana itu romantis. Namun akhirnya aku benar-benar tak tega, keesokan harinya aku lapisi lagi bungkusan tadi dengan menggunakan plastik kado. Meskipun ternyata tetap saja terlihat berantakan, jauh dari kesan rapi. Namun sekali lagi, aku bilang itu romantis. Apa adanya itu romantis. Walaupun aku tak tau, apakah dia menganggapnya itu romantis, atau dramatis. Aku tak peduli, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri, diriku seutuhnya.
Akhirnya tibalah hari dimana aku harus memberikan kado tersebut padanya. Semalam, aku sudah mengucapkan selamat ulang tahun padanya tepat pukul 00.00, itu kalo jam tanganku benar. Kata demi kata sudah aku persiapkan untuk bahan perbincanganku dengannya nanti. Sore itu aku menemuinya, dan seperti yang sudah aku duga sebelumnya, aku tiba-tiba bisu. Kosa kata yang sudah aku persiapkan sejak pagi tiba-tiba menguap tanpa jejak. Kulihat mimik wajahnya, ia terlihat tersenyum sembari menungguku mengatakan sesuatu. Sial, tenggorokanku terasa ditarik dari dalam, dan akhirnya hanya ada satu kata yang bisa terucap, yaitu “ini!”. Karena sudah terlanjur gugup, mungkin juga terlanjur malu, setelah kado tersebut ada di tangannya, aku langsung pamit pulang. Sebelum aku pulang, dia sempat bilang “gitu aja, gak ngucapin apa-apa?”. Akupun hanya bisa menjawab dengan asal ceplos, “ucapannya ada di dalam”. Aku sesegera mungkin menutup mukaku dengan helm. Paling tidak, mimik wajahku yang gugup, tidak terlihat lama olehnya.Setelah itu, aku menonaktifkan HP-ku beberapa saat. Aku hanya ingin mengumpulkan mental sebanyak-banyaknya untuk menghadapi respon darinya. Dan ketika aku mengaktifkan kembali HP-ku, ternyata dia belum memberikan respon. Dia baru memberikan respon saat tengah malam, respon yang membuatku.....
Lamunanku langsung terhenti saat tanpa disadari ternyata secangkir kopiku telah habis. Teman curhatku sudah pergi, tak ada lagi yang bisa diajak berkomunikasi. Padahal aku ingin melanjutkan cerita tadi yang belum usai. Akhirnya aku memilih untuk memejamkan mata, dengan harapan bisa bertemu dengannya di alam abstrak, yaitu alam mimpi. Semua yang tidak mungkin, akan menjadi sangat mungkin disana. Sebelum tidur, dalam hati aku sempat mengucapkan sesuatu, “Selamat malam, terima kasih sudah menghargai cinta ini”.

Bojonegoro, 1 November 2013

(Alvin Mujahid)

0 komentar:

Posting Komentar